INFORMASISEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI TERAPAN 2021. Prof. Dr. H.A. Suyitno, M.Ag. (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, DItjen Pendidikan Islam Kemenag) Panca Wijaya Akbar, S.H. (Bupati Ogan Ilir - Sumatera Selatan) H. Dodi Reza Alex Noerdin (Bupati Musi Banyuasin - Sumatera Selatan)
KEBAYORANLAMA SELATAN,Kota Administrasi Jakarta Selatan 2021,Hidroponik di RPTRA Beringin Kelurahan Jagakarsa,Kota Administrasi Jakarta Selatan 2021,Bank Sampah Kelurahan Jagakarsa,Kota Administrasi Jakarta Selatan 2021,Posyandu Remaja Disabilitas di RPTRA Bagus RT 06 RW 07 Kelurahan Kebagusan,Kota Administrasi Jakarta Selatan
Olehkarena itu sangat menganjurkan buat menanam bawang putih pada masa kemarau di bulan April hingga Juni, supaya hasil umbi bawang putih terpelihara kualitasnya. Tipe tanah; Bawang putih sangat suka tipe tanah lempung berpasir dan struktur tanah yang gembur. Tidak hanya itu tumbuhan ini pula suka pada tanah yang mempunyai kandungan PH 5, 5- 7.
TinggiTanaman Bawang Merah akibar Perlakuan Dosis dan Interval Pemberian Pupuk Organik Cair Urin Sapi pada Umur 2 Hasil analisa kandungan hara yang di lakukan terhadap urine kambing menunjukkan N: 0,89% P: 89 ppm, K: 7.770 ppm dan urin kelinci terdapat N: 2,72 % , P: 1,10 % , K: 0,50 % serta urin sapi terdapat N : 1,4 % , P : 0,6 % , K : 1
TeknikPertanian ·May 10, 2014November 22, 2014. Skripsi Pertanian [Kode Y] ~ Berikut ini kami sajikan beberapa contoh judul untuk Skripsi Teknik Pertanian, yang kami harapkan bisa sesuai dengan tema yang diangkat sehingga dapat membantu mempermudah dalam penulisannya. Pertanian merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi
dalam proses produksi massal produktivitas mengacu pada peningkatan. RANCANGAN SISTEM HIDROPONIK BUDIDAYA BAWANG MERAH Allium Ascalonicum L. DAN SIMULASI ANALISIS BIAYARANCANGAN SISTEM HIDROPONIK BUDIDAYA BAWANG MERAH Allium Ascalonicum L. DAN SIMULASI ANALISIS BIAYATraditional cultivation of shallot is subject to uncertainty both in productivity and price. This seasonal situation was primarily due to climatic factors. Hydroponics cultivation offers a potential solution to that problem because hydroponics was not dependant to climate. Therefore, production can be maintained throughout a year around. This research aims to design hydroponics system for shallot cultivation, to simulate cost analysis, and to estimate profit. The research was conducted by constructing a hydroponics module with dimension as the following 100 cm high, 3 m long and 60 cm wide. Growth medium made from rice hush char as deep as 15 cm was used in the module. 114 cloves of shallot were nursed, and transplanted to the bed after shoots developed about 5 cm, with 10x15 cm spacing. Parameters observed in this study included pH, EC, moisture content, and plant growth. In addition, three scenarios of the hydroponics systems were simulated to elaborate cost and profit es...
Tingkat risiko produksi dalam budidaya bawang merah akan mempengaruhi keputusan petani terutama dalam menentukan skala budidayanya dan keputusannya dalam menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko dalam produksi bawang merah dan perilaku petani terhadapnya, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat risiko dalam produksi bawang merah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey kepustakaan dengan menggunakan sumber kepustakaan untuk mengumpulkan data penelitian. Data yang dihasilkan kemudian dikumpulkan dan dianalisis untuk menarik kesimpulan tentang tingkat risiko produksi yang tinggi pada budidaya bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko dalam produksi bawang merah antara lain pupuk urea dan ZA, hama dan penyakit. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free *Corresponding Author Hal 33-42 Email ISSN Online 2774-7212 Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah I Made Windu Yasa, *I Gusti Agung Ari Bawarta, Gede Mekse Korri Arisena Magister Agribisnis, Universitas Udayana, Bali, Indonesia DOI ABSTRAK Tingkat risiko produksi dalam budidaya bawang merah akan mempengaruhi keputusan petani terutama dalam menentukan skala budidayanya dan keputusannya dalam menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko dalam produksi bawang merah dan perilaku petani terhadapnya, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat risiko dalam produksi bawang merah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey kepustakaan dengan menggunakan sumber kepustakaan untuk mengumpulkan data penelitian. Data yang dihasilkan kemudian dikumpulkan dan dianalisis untuk menarik kesimpulan tentang tingkat risiko produksi yang tinggi pada budidaya bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko dalam produksi bawang merah antara lain pupuk urea dan ZA, hama dan penyakit. Kata Kunci Bawang Merah, Komoditi, Produksi, Risiko, Usahatani. ABSTRACT The level of production risk in growing shallots will affect the decisions farmers make, especially about how much they will grow and what kinds of plants they will grow next. This study aims to determine the level of risk in the production of shallots and the behavior of farmers towards it, as well as to determine the factors that influence the level of risk in the production of shallots. The method used in this research is a literature survey using library sources to collect research data. The resulting data is then collected and analyzed to draw conclusions about the high level of production risk in shallot cultivation. The results showed that urea and ZA fertilizers, pests, and diseases are all things that can hurt the growth of shallots. Keywords Shallots, Commodity, Production, Risk, Farming. PENDAHULUAN Bawang merah merupakan komoditas strategis karena diharapkan untuk konsumsi keluarga selain untuk industri makanan. Untuk rumah tangga, bawang merah digunakan sebagai bumbu masakan. Selain untuk taburan masakan, industri pangan membutuhkan bawang merah untuk diolah menjadi bumbu masak siap pakai, untuk taburan lauk pauk, serta berbagai bumbu masakan Kemendag RI 2020. This is an open access article under the CC-BY 34 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Data dari Statistik Tanaman Hortikultura 2019 Badan Pusat Statistik, enam provinsi yang merupakan Negara penghasil bawang merah terbesar di Indonesia adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan dalam urutan bawang merah terbesar. Keenam provinsi tersebut menyumbang 93,38% dari total produksi bawang merah kering nasional yang mencapai 1,6 juta ton. Jawa Tengah merupakan penghasil bawang merah terbesar Pengalaman bertahun-tahun dalam budidaya pertanian yang dimiliki petani, tidak selalu menjadikan petani Mencapai tingkat efisiensi dan produktivitas yang sesuai. Bahkan dengan paket teknologi, musim , dan medan yang sama pada berbagai produksi. Pada dasarnya hasil yang diperoleh merupakan hasil kerja dari banyak faktor, baik yang dapat dikendalikan maupun yang bersifat internal atau yang tidak dapat dikendalikan atau bersifat eksternal Astuti dkk. 2019. Faktor eksternal yang paling sering dihadapi petani adalah ketidakpastian harga, dimana petani dalam kondisi ini hanya sebagai price taker. Fluktuasi harga komoditas pertanian sangat sering terjadi yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jumlah permintaan konsumen, panjangnya rantai pemasaran serta spekulasi pedagang yang cenderung ingin memperoleh keuntungan tinggi. Berbagai macam risiko usahatani dapat menurunkan tingkat pendapatan petani yaitu risiko produksi, risiko harga atau pasar, risiko institusi, risiko manusia dan risiko keuangan Pusdatin 2019. Petani bawang merah di sawah dataran rendah kebanyakan adalah petani kecil hingga menengah. Perilaku petani dalam melakukan kegiatan pertanian sangat bergantung pada perilaku mereka dalam menghadapi risiko dan strategi mereka dalam menghadapi risiko, baik risiko produksi maupun risiko harga komoditas yang dihasilkan Arya dkk. 2015. Tingkat penerimaan petani terhadap risiko dalam kegiatan usaha tani sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya dalam melakukan mitigasi risiko tersebut. Identifikasi jenis-jenis risiko yang kemungkinan terjadi dalam kegiatan usahatani mempengaruhi tingkat kesiapan petani dalam menghadapinya, dengan berbekal pengetahuan, keterampilan dan pengalaman panjang dalam kegiatan usaha tani yang sama. Dalam penelitian Arya dkk. 2015 menyatakan bahwa sebagian besar petani sudah memperhitungkan risiko produksi dan risiko harga sebagai bagian dari kegiatan usahatani yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kerugian dan tidak hanya sebagai penyimpangan hasil usahatani. Petani memiliki persepsi bahwa Tingkat resiko produksi budidaya bawang merah tinggi dan hal ini dimungkinkan karena kurangnya penguasaan teknik produksi. Beberapa petani juga menganggap risiko harga budidaya bawang merah tinggi. Hal ini dikarenakan harga bahan baku yang fluktuatif atau fluktuatif karena merupakan faktor eksternal yang berada di luar kendali petani. Astuti dkk. 2019 dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat risiko produksi usahatani bawang merah pada musim hujan lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau. Hal ini bertolak belakang dengan risiko produksi usahatani bawang merah yang dihadapi petani yang lebih tinggi pada musim hujan dikarenakan meningkatnya serangan hama dan penyakit. Dari data penelitian, hal ini dapat disebabkan oleh kesiapan petani dalam mencegah risiko produksi yang akan terjadi pada saat musim hujan dengan penggunaan input yang lebih banyak dan penerapan teknologi pertanian yang baik sehingga diharapkan dapat menstabilkan produksi bawang merah. 35 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Risiko produksi dan pendapatan yang dihadapi petani bawang merah termasuk dalam kategori tinggi. Semakin tinggi risiko bagi petani, semakin tinggi pendapatannya. Perubahan iklim dan cuaca yang menyebabkan kelangkaan air dan penyebaran hama seperti larva bawang merah dan layu Fusarium merupakan beberapa risiko yang dihadapi petani bawang merah dalam kegiatan pertaniannya. Petani bawang merah melakukan beberapa hal untuk mengurangi risiko yang dihadapinya, antara lain dengan menerapkan pola usahatani campuran pada satu hamparan yang Menggabungkan padi, palawija dan sayur-sayuran dalam satu areal yang sama, menanam padi, palawija dan sayur-sayuran di areal kecil yang berbeda, penyemprotan dan pemupukan untuk mengendalikan hama dan penyakit. Melakukan pemilahan dan penjemuran umbi bawang merah yang dihasilkan. Umbi bawang merah berkualitas baik selanjutnya dipisahkan dengan umbi busuk dan muda dengan melakukan sortasi dan grading Nailufar dkk. 2019. Kegiatan usahatani selalu menimbulkan risiko yang harus dihadapi oleh petani. Tinggi rendahnya tingkat risiko yang ada khususnya risiko produksi dalam kegiatan budidaya bawang merah akan sangat berpengaruh terhadap keputusan petani terutama dalam menentukan skala budidayanya, dan akan mempengaruhi keputusan petani untuk memilih jenis komoditas yang akan diusahakan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko produksi budidaya bawang merah dan perilaku petani dalam menghadapinya, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat risiko produksi budidaya bawang merah. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai refleksi untuk mengurangi tingkat resiko dalam produksi bawang merah. METODE PENELITIAN Studi ini dilaksanakan mulai dari bulan April hingga Mei 2022 melalui tahapan kajian pustaka. Kajian ini dilakukan dengan melakuan kajian terhadap 20 dua puluh hasil penelitian sebelumnya yang dipublikasikan antara tahun 2006 sampai 2021 di jurnal yang membahas tentang analisis risiko usahatani bawang merah di Indonesia yang digunakan sebagai acuan dan tidak mengumpulkan data secara langsung. Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan penelitian yang berasal dari penelitian-penelitian sebelumnya, disajikan secara kuantitatif dan kualitatif Harlina dkk. 2018. Data sekunder adalah data yang sudah diperoleh berupa data yang dikumpulkan oleh orang atau lembaga lain. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur atau studi literatur. Menurut Zed 2008, dalam studi pustaka, pengumpulan pustaka tidak hanya sebagai langkah awal dalam menyiapkan kerangka penelitian namun juga memanfaatkan sumber-sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian. Data-data yang diperoleh kemudian dikompilasi, dianalisa dengan baik untuk mendapatkan kesimpulan tentang risiko produksi dalam usahatani bawang merah. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tingkat Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah dan Perilaku Petani Adetya 2021 menyatakan bahwa petani dalam membuat suatu keputusan cenderung menghindari risiko yang disebabkan oleh kehidupan petani di pedesaan selalu berhadapan dengan ketidakpastian tentang cuaca dan adanya tuntutan dari luar. Berusaha menghindari kegagalan yang dapat menurunkan kesejahteraanya merupakan karakter asli 36 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah yang dimiliki oleh petani tanpa adanya kemauan untuk menghadapi risiko untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar. Analisis risiko produksi dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko yang ditimbulkan dalam produksi petani dalam kegiatan pertanian dengan memeriksa koefisien variasi CV. Koefisien variasi CV adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan tingkat risiko relatif dengan membandingkan standar deviasi dengan nilai yang diharapkan Adetya, 2021. Berdasarkan hasil penelitian Adetya 2021 di Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur mengemukakan bahwa tingkat risiko produksi budidaya bawang merah di Kabupaten Sampang cenderung rendah yang dikarenakan petani lokal menentukan waktu yang tepat untuk penanaman bawang merah yaitu sekitar bulan April atau Mei. Zul Mazwan dkk. 2020 yang melakukan penelitian di Kota Malang, Jawa timur juga menyatakan hal yang sama, dikarenakan petani lebih memilih menanam komoditas bawang merah hanya pada musim kemarau dimana Serangan hama dan penyakit tidak separah pada musim hujan, sehingga risikonya jauh lebih rendah. Ghozali & Wibowo 2019, dalam penelitiannya di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, menemukan bahwa produksi tanaman bawang merah berisiko tinggi, terutama bila ditanam pada musim hujan off-season, tinggi, dan penggunaan pestisida cair. juga meningkat pesat, berdampak pada biaya produksi. Sejalan dengan penelitian di Kabupaten Bogor, Jawa Barat Pasaribu 2017, kami juga menemukan bahwa budidaya bawang merah di luar musim memiliki risiko produksi yang tinggi. Hasil penelitian dari Nailufar dkk. 2019 di Kabupaten Serang, Jawa Tengah juga menyatakan tingkat resiko produksi dalam usahatani bawang merah termasuk dalam kategori tinggi. Semakin tinggi risiko dalam produksi pertanian, semakin tinggi risiko pendapatan bagi petani. Konsisten dengan apa yang dilaporkan Mutisari & Meitasari 2019 dalam penelitiannya di Kota Batu, Jawa Timur, risiko budidaya bawang merah relatif tinggi. Tabel 1 Tingkat Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Beberapa Lokasi Penelitian Sumber Data Diolah 2022 37 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Putri dkk. 2018 Sebuah studi yang dilakukan di desa Songan Kabupaten Bangli menemukan bahwa produksi budidaya bawang merah berisiko tinggi. Termasuk risiko tinggi karena dipengaruhi oleh ketinggian lahan dimana pada daerah atas atau lebih tinggi memiliki tingkat risiko lebih tinggi dibandingkan daerah yang lokasinya lebih dibawah. Hal ini dikarenakan kelembaban udara dan curah hujan lebih tinggi pada daerah bawah yang juga mempengaruhi pertumbuhan bawang merah. Nadhilah 2019 dalam penelitiannya di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara menyatakan bahwa risiko pendapatan merupakan risiko tertinggi dalam budidaya bawang merah. Tingginya risiko pendapatan sangat dipengaruhi oleh tingginya risiko Mengingat adanya kekhawatiran penurunan produksi akibat serangan hama, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan seperti penyemprotan pestisida dan pemberian bahan kimia. Pendapatan usahatani bawang merah yang relatif tinggi di kota Medan memiliki kecenderungan risiko produksi yang relatif tinggi. Tingginya risiko produksi budidaya bawang merah juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Arya dkk. 2015 di Kabupaten Buleleng, Bali. Sebagai produk dengan nilai ekonomi tinggi dan risiko produksi tinggi juga cenderung tinggi diperlukan adanya strategi manajemen risiko mulai dari perencanaan usahatani seperti penentuan pola tanam, saat kegiatan budidaya dilakukan seperti pemakaian input yang berlebih dan setelah usahatani selesai atau panen yang meliputi kegiatan mempertahankan keberlanjutan usahatani setelah mengalami kegagalan seperti melakukan peminjaman dana dan pejualan aset serta penggunaan pendapatan sumber lainnya. Lawalata 2017 dalam penelitiannya di Kabupaten Bantul, provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa tingginya risiko produksi usahatani bawang merah menyebabkan petani berhati-hati dalam melakukannya sehingga mereka melakukan pola tumpang sari antara bawang merah dan cabai dengan tujuan mengurangi risiko yang ada. Perilaku petani dalam kegiatan usahatani sangat tergantung pada risiko yang dihadapi dan strategi mereka dalam menghadapi risiko yang ada baik risiko produksi maupun risiko harga output Arya dkk. 2015. Sikap petani terhadap risiko dalam pertanian dapat dibedakan menjadi kelompok petani yang penghindar risiko risk averse, petani netral risk neutral dan petani yang berani mengambil risiko risk enthusiast. Tabel 2 menunjukkan tanggapan petani terhadap risiko produksi tanaman bawang merah di beberapa daerah penelitian. Budiningsih & Pujiharto 2006 dalam penelitiannya di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah menyatakan petani cenderung bersikap netral yang kemungkinan disebabkan oleh persepsi petani terhadap risiko dalam usahatani sudah merupakan hal biasa dan pasti terjadi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmania Fajri & Fauziyah 2019 di Desa Pojanan Barat, Kabupaten Pamekasan yang menjelaskan bahwa perilaku petani terhadap risiko produksi dalam usahatani bawang merah juga cenderung bersikap netral yang artinya petani akan tetap membudidayakan bawang merah tidak terpengaruh oleh tingkat risiko yang ada dan memandang risiko sebuah hal biasa terjadi terlebih dalam kegiatan usahatani. 38 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Tabel 2 Berbagai Perilaku Petani terhadap Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada Beberapa Lokasi Penelitian Sumber Data Diolah 2022 Mutisari & Meitasari 2019 dalam penelitiannya di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur menyatakan bahwa petani rata-rata bersifat Risk Averter menghindari risiko. Kegagalan produksi akan mempengaruhi keputusan petani dalam menentukan komoditas yang akan dibudidayakan selanjutnya. Sejalan dengan penelitian Putra dkk. 2020, di Desa Sajen, Kabupaten Mojokerto Petani bawang merah juga cenderung menghindari risiko risk aversion. Perilaku Petani dalam Budidaya Bawang Merah yang cenderung menghindari risiko juga disampaikan oleh Nadhilah 2019 dalam penelitiannya di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Petani di Kota Medan masih banyak yang enggan melakukan usaha tani bawang merah karena takut mengalami kegagalan produksi akibat serangan hama dan penyakit yang tidak dapat diprediksi. Sejalan dengan penelitian Lawalata 2017 yang dilakukan di Kabupaten Bantul, provinsi Jawa Tengah yang manyatakan bahwa petani di Kabupaten Bantul kebanyakan bersikap menolak atau menghindari risiko sehingga untuk mengurangi Risiko produksi tanaman bawang merah ditimbulkan oleh sistem budidaya bawang merah dan cabai campur. Tidak semua petani di wilayah studi netral atau risk-averse produksi dalam budidaya bawang merah. Di beberapa daerah, petani lebih berani mengambil risiko Risk Lover. Widyantara & Yasa 2013 melakukan penelitian di Desa Buahan, Kabupaten Bangli menyatakan bahwa meskipun kegiatan usaha tani bawang merah pada musim kemarau di daerah penelitian memiliki risiko Lebih besar dari musim hujan, petani masih berani mengambil risiko dengan selalu menanam bawang merah di musim hujan dan kemarau. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ester 2017 di Kabupaten solok, Provinsi Sumatera barat yang manyatakan bahwa petani cenderung berani menghadapi risiko karena mereka telah memahami bahwa dalam melakukan usaha tani pasti memiliki risiko dan untuk menghadapi risiko, petani melakukan strategi preventif dan mitigasi seperti pengaturan pola tanam, penggunaan mulsa, pananaman varietas bibit berbeda dan sebagainya. 39 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Risiko Usahatani Bawang Merah Kegiatan Pertanian sangat Rentan terhadap Serangan Hama dan Penyakit Kegiatan usahatani sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit yang merugikan petani. Risiko ketidakpastian yang cukup tinggi seperti kegagalan panen pada komoditas bawang merah dapat mendorong petani untuk beralih ke komoditas lain untuk dibudidayakan khususnya komoditas yang bernilai ekonomis tinggi namun dengan risiko produksi yang rendah. Sumber faktor risiko produksi bawang merah di beberapa daerah penelitian yang diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya. Anda bisa melihatnya di Tabel 3. Putra dkk. 2020 dalam penelitiannya di Kabupaten Mojokerto menyatakan Ada dua variabel yang mempengaruhi risiko dalam produksi bawang merah yaitu pupuk urea dan ZA karena memiliki nilai probabilitas yang jauh di bawah probabilitas. Penggunaan urea yang berlebihan akan merusak tanah dan mengganggu keseimbangan unsur hara yang akan mempengaruhi kualitas tanah. Lawalata 2017 yang melakukan penelitian di Kabupaten Bantul, provinsi Jawa Tengah yang manyatakan bahwa serangan hama dan faktor cuaca yang tidak menentu merupakan faktor yang secara signifikan mempengaruhi risiko. Penggunaan pestisida dan obat-obatan banyak digunakan untuk mengurangi risiko produksi dalam budidaya bawang merah. Tabel 3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada beberapa Lokasi Penelitian Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Sumber Data Diolah 2022 40 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ghozali & Wibowo 2019 di Kabupaten Nganjuk, Nailufar dkk. 2019 dalam penelitiannya di Kabupaten Serang, Putri dkk. 2018 dalam penelitiannya di Desa Songan Kabupaten Bangli, Nurul Nadhilah 2019 dalam penelitiannya di Kota Medan, Rahmania Fajri & Fauziyah 2019 dalam penelitiannya di Desa Pojanan Barat Kabupaten Pamekasan serta hasil penelitian yang dilakukan oleh Ester 2017 di Kabupaten solok Provinsi Sumatera barat, semuanya menyatakan bahwa serangan Hama serta kondisi cuaca sangat mempengaruhi tingkat resiko dalam produksi bawang merah, sehingga penggunaan pestisida sangat tinggi. Mutisari & Meitasari 2019 dalam penelitiannya di kota Batu, Provinsi Jawa Timur, menyampaikan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat risiko produksi budidaya bawang merah adalah Infestasi hama dan penyakit. Berdasarkan dari penelitian Arya dkk. 2015 di Kabupaten Buleleng dan penelitian di kota Malang Zul Mazwan dkk. 2020 faktor utama dalam budidaya bawang merah adalah hama dan penyakit. Pemakaian pestisida dan obat-obatan berlebih untuk menangani serangan hama penyakit tersebut dikhawatirkan berdampak pada kesehatan petani dan kerusakan lingkungan sekitar dalam waktu panjang. SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1 Risiko produksi budidaya bawang merah tidak sama di semua wilayah, namun sebagian besar wilayah termasuk dalam kategori risiko produksi tinggi dan hanya beberapa wilayah yang termasuk dalam kategori risiko produksi rendah. mempertaruhkan. 2 Perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi dalam budidaya bawang merah sangat bergantung pada persepsi risiko dan pengalaman petani dalam budidaya bawang merah. Sebagian besar kelompok petani bersikap menghindari risiko Risk Averter, beberapa kelompok petani berani menerima risiko Risk Lover dan sebagian kecil bersikap netral terhadap risiko Risk Neutral. 3 Hama dan penyakit, serta kondisi cuaca/iklim merupakan faktor yang sangat mempengaruhi tingkat risiko produksi budidaya bawang merah. Adapun saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah 1 Bagi petani, harus memahami terlebih dahulu risiko produksi yang berpotensi muncul pada saat ingin membudidayakan suatu komoditas seperti bawang merah, sehingga memiliki persepsi terhadap risiko tersebut dan mampu melakukan pengendalian pada saat risiko tersebut muncul. 2 Bagi petani, sebaiknya melakukan mitigasi dan identifikasi risiko produksi yang sering dan berpotensi muncul di daerahnya masing-masing sehingga dapat melakukan pengendalian lebih awal seperti melakukan pola tanam, penggunaan varietas unggul, penggunaan pupuk organik serta pestisida nabati/ hayati dalam pemberantasan hama. 3 Guna mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan ketahanan tanaman daun bawang terhadap hama/penyakit, petani dihimbau untuk menggunakan pestisida dan formulasinya sesuai dengan dosis yang dianjurkan. 4 Untuk studi lebih lanjut, beberapa hasil saat ini untuk analisis risiko pendapatan tanaman bawang merah dapat diperiksa dengan menggunakan metode tinjauan literatur. 41 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah DAFTAR PUSTAKA Adetya, A. 2021. Analisis Produksi, Pendapatan dan Risiko Usahatani Bawang Merah di Kecamatan Sokobanah Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur. Agriscience, 25, 17–31. Astuti, L. T. W., Daryanto, A., Syaukat, Y., & Daryanto, H. K. 2019. Analisis Resiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada Musim Kering dan Musim Hujan di Kabupaten Brebes. Jurnal Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 34, 840–852. Budiningsih, S., & Pujiharto. 2006. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Klikiran Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes. Agritech, 81, 127–143. Ester, M. W. 2017. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah Allium Ascalonium L. Di Nagari Sungai Nanam Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok. Skripsi. Universitas Andalas. Ghozali, M. R., & Wibowo, R. 2019. Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 32, 294–310. Kemendag RI. 2020. Profil Komoditas Bawang Merah. Kementerian Perdagangan, 1–38. Lawalata, M. 2017. Risiko Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Bantul. Jurnal Agrica, 102, 56. Mutisari, R., & Meitasari, D. 2019. Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Kota Batu. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 33, 655–662. Nailufar, S. F., Anggraeni, D., Sari, R. M. 2019. Analisis Risiko Produksi dan Penawaran Bawang Merah Kasus di Desa Toyomerto Kecamatan Kramatwatu Kabupaten Serang. Ilmu Pertanian Tirtayasa, 11, 22–36. Nurul Nadhilah. 2019. Analisis Risiko Produksi , Harga dan Pendapatan pada Usaha Pembenihan Bawang Merah Allium Cepa Var . Ascalonicum Kasus Kecamatan Medan Marelan Kota Medan. 1–85. Pasaribu, S. M. 2017. Risiko Produksi Pangan Tantangan dan Peluang. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Bogor, 206–224. 42 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Pusdatin. 2019. Outlook Bawang Merah Komoditas Pertanian Subsektor Holtikultura. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, 1–71. Putra, Y. H., Dwi Susilowati, & Farida Syakir. 2020. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 82, 49–58. Putri, A., Dewi, R. K., & Yudhari, I. D. A. S. 2018. Analisis Risiko Produksi Bawang Merah di Desa Songan B, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Jurnal Agribisnis dan Agrowisata, 73, 392. Rahmania Fajri, S., & Fauziyah, E. 2019. Keterkaitan Efisiensi Teknis dan Perilaku Risiko Petani Usahatani Bawang Merah Varietas Manjung. Jurnal Hortikultura Indonesia, 93, 188–196. Widyantara, W., & Yasa, N. 2013. Iklim Sangat Berpengaruh terhadap Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Allium Ascalonicum L. E-Journal Agribisnis dan Agrowisata, 21, 32–37. Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta Yayasan Obor Indonesia. Zul Mazwan, M., Tarik Ibrahim, J., & A M Fadlan, W. 2020. Risk Analysis of Shallot Farming in Malang Regency, Indonesia. Agricultural Social Economic Journal, 203, 201–206. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Produksi, Pendapatan danA AdetyaAdetya, A. 2021. Analisis Produksi, Pendapatan dan Risiko Usahatani Bawang Merah di Kecamatan Sokobanah Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur. Agriscience, 25, Resiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada Musim Kering dan Musim Hujan di Kabupaten BrebesL T W AstutiA DaryantoY SyaukatH K DaryantoAstuti, L. T. W., Daryanto, A., Syaukat, Y., & Daryanto, H. K. 2019. Analisis Resiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada Musim Kering dan Musim Hujan di Kabupaten Brebes. Jurnal Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 34, 840-852. Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Klikiran Kecamatan Jatibarang Kabupaten BrebesS BudiningsihPujihartoBudiningsih, S., & Pujiharto. 2006. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Klikiran Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes. Agritech, 81, Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten NganjukM R GhozaliR WibowoGhozali, M. R., & Wibowo, R. 2019. Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 32, 294-310. I KemendagKemendag RI. 2020. Profil Komoditas Bawang Merah. Kementerian Perdagangan, Usahatani Bawang Merah di Kabupaten BantulM LawalataLawalata, M. 2017. Risiko Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Bantul. Jurnal Agrica, 102, 56. Risiko Produksi dan Penawaran Bawang Merah Kasus di Desa Toyomerto Kecamatan Kramatwatu Kabupaten SerangS F NailufarD AnggraeniR M SariNailufar, S. F., Anggraeni, D., Sari, R. M. 2019. Analisis Risiko Produksi dan Penawaran Bawang Merah Kasus di Desa Toyomerto Kecamatan Kramatwatu Kabupaten Serang. Ilmu Pertanian Tirtayasa, 11, Risiko Produksi , Harga dan Pendapatan pada Usaha Pembenihan Bawang Merah Allium Cepa Var . Ascalonicum KasusNurul NadhilahNurul Nadhilah. 2019. Analisis Risiko Produksi, Harga dan Pendapatan pada Usaha Pembenihan Bawang Merah Allium Cepa Var. Ascalonicum Kasus Kecamatan Medan Marelan Kota Medan. Produksi Pangan Tantangan dan Peluang. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian BogorS M PasaribuPasaribu, S. M. 2017. Risiko Produksi Pangan Tantangan dan Peluang. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Bogor, 206-224.
100% found this document useful 1 vote2K views5 pagesDescriptionHIDROPONIK BAWANG MERAHCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 1 vote2K views5 pagesHasil Percobaan Sistem Hidroponik Pada Bawang MerahJump to Page You are on page 1of 5 You're Reading a Free Preview Page 4 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
p>The objectives of this research are 1 to analyze the characteristics of farmers and the performance of shallot farming and 2 to analyze the profitability of shallot farming in production centers in Java. The research was conducted in Cirebon, Brebes, and Tegal regency with the number of respondents each of 40 farmers. Farm profitability level indicated by R/C ratio in every season rainy season, first dry season and second dry season during 2013/2014. The results showed that shallot farming in Cirebon, Brebes, and Tegal feasible and profitable to cultivate in every season. Farmers in Cirebon had the biggest gain in the second dry season of Rp 47 million per hectare with R/C of Farmers in Brebes had the biggest gain in the first dry season amounted to Rp 23 million per hectare with R/C of Farmers in Tegal had the biggest gain in the rainy season of Rp 31 million per hectare with R/C of 1 maka usaha layak dilaksanakan b. R/C < 1 maka usaha tidak layak dilaksanakan c. R/C = 1 maka usaha impas tidak untung maupun rugi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Bawang Merah Karakteristik dari masing-masing petani berbeda-beda dan dapat mempengaruhi keragaan usahatani dari aspek teknik budidaya sehingga akan berpengaruh juga terhadap produksi yang dihasilkan. Karakteristik petani Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 252 responden yang dianggap penting untuk diketahui diantaranya umur, tingkat pendidikan, status usahatani, pengalaman bertani, status kepemilikan lahan, luas lahan dan pola tanam. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar petani berada dalam kisaran umur 40-59 tahun. Sebaran umur petani di Kabupaten Cirebon dan Brebes relatif sama yaitu paling banyak pada rentang usia 40-49 tahun, sedangkan di Kabupaten Tegal sebaran umur petani terbesar pada kisaran umur 50-59 tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon dan Brebes masih dilakukan oleh petani pada usia produktif. Usia produktif adalah usia yang paling tepat untuk menjalankan aktifitas-aktifitas bekerja seperti bertani karena secara fisik masih baik, memiliki semangat tinggi dan adanya kewajiban untuk menghidupi keluarga. Sementara itu, petani di Kabupaten Tegal ternyata sudah melewati masa produktif karena sebagian besar petani berusia di atas 50 tahun. Dilihat dari tingkat pendidikan formal, pendidikan petani sangat beragam mulai dari sekolah dasar SD sampai lulusan perguruan tinggi. Akan tetapi masih ditemui petani yang tidak menyelesaikan masa studi sekolah dasarnya, bahkan ada yang tidak sekolah sama sekali. Petani dengan pendidikan sekolah dasar relatif lebih banyak jumlahnya di Kabupaten Cirebon dan Tegal. Sementara itu, di Kabupaten Brebes petani didominasi oleh petani dengan tingkat pendidikan sekolah menengah atas SMA. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir petani dan tingkat penyerapan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tabel 2. Karakteristik Petani Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal Pengalaman Bertani tahun Sumber PKHT, 2014 Diolah Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 253 Pengalaman bertani petani bawang merah di Kabupaten Brebes relatif lebih lama daripada petani di Kabupaten Cirebon dan Tegal. Pengalaman petani bawang merah di Kabupaten Brebes dalam melakukan usahatani bawang merah antara 11-30 tahun sedangkan di Kabupaten Cirebon dan Tegal sebagian besar berkisar antara 1-10 tahun. Usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes relatif lebih lama dikembangkan sehingga banyak petani yang sudah lama membudidayakan bawang merah baik secara mandiri maupun dari usaha turun temurun orang tua. Penguasaan lahan untuk budidaya bawang merah relatif kecil yaitu masih dibawah satu hektar. Sebagian besar petani di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal mengusahakan bawang merah pada lahan dibawah 0,5 hektar. Status kepemilikan lahan didominasi oleh lahan milik sendiri untuk di Kabupaten Brebes dan Tegal. Sementara itu, di Kabupaten Cirebon didominasi oleh lahan sewa. Biaya sewa lahan di ketiga lokasi penelitian bervariasi. Rata-rata sewa lahan per tahun di Kabupaten Cirebon sebesar Rp di Kabupaten Brebes Rp dan di Kabupaten Tegal Rp Keseluruhan lahan yang dimiliki petani responden di tiga lokasi penelitian merupakan lahan sawah dengan irigasi konvensional dan semi teknis. Keragaan Usahatani Bawang Merah Budidaya bawang merah yang dilakukan oleh petani di tiga lokasi penelitian sebagian besar dilakukan secara monokultur. Akan tetapi, ada beberapa petani yang juga melakukan tumpangsari dengan tanaman lain seperti cabai atau terong. Dalam satu tahun, rata-rata petani menanam bawang merah 2-3 kali dalam setahun karena umur panennya yang singkat yaitu 55-60 hari. Penanaman bawang merah di ketiga lokasi penelitian banyak dilakukan di daerah dataran rendah. Menurut Putrasamedja 2010, ketinggian lokasi penanaman bawang merah yang ideal berkisar antara 4-300 meter diatas permukaan laut. Pada ketinggian ini, produksi yang dihasilkan bisa optimum dan umur panennya lebih genjah. Di Kabupaten Tegal, budidaya bawang merah dilakukan tidak hanya di daerah dataran rendah tetapi juga pada lahan dataran tinggi. Di dataran tinggi umur panen bawang merah lebih lama yaitu 90 hari. Petani di dataran tinggi membudidayakan bawang merah hanya satu kali dalam satu tahun. Hal ini dikarenakan petani juga menanam sayuran lain seperti kubis, bawang daun, cabai, dan sebagainya. Petani mempertimbangkan ketersediaan air dalam melakukan penanaman bawang merah karena bawang merah merupakan tanaman yang membutuhkan banyak air. Petani di lokasi penelitian menanam bawang merah pada musim hujan dan musim kemarau I dimana pada musim ini ketersediaan air melimpah. Namun sebagian besar petani menanam pada musim kemarau I karena pada musim hujan petani lebih memilih menanam padi. Beberapa petani juga menanam pada musim kemarau II apabila air untuk irigasi cukup tersedia. Pada saat musim kemarau, apabila tidak terdapat air irigasi, petani masih bisa menanam bawang merah dengan menggunakan irigasi dari sumur pompa yang dibuat oleh petani. Jika ketersediaan air irigasi tidak memadai maka lahan tersebut tidak ditanami bawang merah. Petani akan menanaminya dengan tanaman jagung atau membiarkan bera sampai musim hujan tiba. Tanaman bawang merah merupakan tanaman hortikultura yang sangat peka terhadap hujan dan kekeringan Widyantara dan Yasa 2013. Petani menanam bawang merah pada bulan Oktober/November, April/Mei, dan Juni/Juli, dimana pada bulan-bulan ini intensitas hujan tidak tinggi. Menurut Purba 2014, penanaman pada bulan Juli-September merupakan waktu yang terbaik yang dapat memberikan hasil optimal bawang merah, sedangkan penanaman pada bulan Januari-Februari merupakan musim terburuk. Secara umum pola tanam yang ditemukan di tiga lokasi penelitian hampir sama yaitu sebagai berikut 1. Bawang Merah - Bawang Merah - Bawang Merah - Jagung 2. Padi - Bawang Merah - Bawang Merah - Bera Produksi bawang merah yang diusahakan petani bervariasi antar daerah dan antar musim Tabel 3. Kabupaten Cirebon memiliki produktivitas bawang merah yang lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Brebes dan Tegal. Kabupaten Brebes memiliki produktivitas bawang merah terendah dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Produktivitas bawang merah di Kabupaten Cirebon berkisar antara 11,3-14,1 ton/ha. Produktivitas bawang merah di Kabupaten Brebes berkisar antara 8,2-8,8 ton/ha sedang di Kabupaten Tegal produktivitasnya lebih tinggi yaitu berkisar antara 8,7-9,8 ton/ha. Rendahnya produktivitas bawang merah di Kab. Brebes diduga karena intensitas penanaman Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 254 Tabel 3. Produktivitas Bawang Merah Per Musim di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal Musim Tanam Tahun 2013-2014 Sumber PKHT, 2014 Diolah bawang merah yang relatif lebih sering dibanding kabupaten lain. Tingginya intensitas penanaman bawang merah pada lahan yang sama menyebabkan kesuburan lahan berkurang karena budidaya bawang merah juga intensif dalam penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia. Dilihat berdasarkan musim, produktivitas bawang merah terbesar terjadi pada musim kemarau. Di Kabupaten Cirebon dan Tegal, produktivitas tertinggi dicapai pada musim kemarau II yaitu sebesar 14,1 ton/ha untuk Kabupaten Cirebon dan 9,8 ton/ha untuk Kabupaten Tegal. Sementara itu, produktivitas tertinggi di Kabupaten Brebes dicapai pada musim kemarau I dengan produktivitas sebesar 8,9 ton/ha. Produktivitas bawang merah terendah di ketiga lokasi penelitian dicapai pada musim hujan. Pada musim hujan, bawang merah banyak terkena penyakit yaitu layu daun dengan gejala daun bawang merah layu secara tiba-tiba setelah terkena air hujan. Menurut petani penyakit ini sangat sering menyerang ketika musim hujan dan belum ada alternatif cara mengatasinya. Hal ini yang menyebabkan produksi bawang merah pada musim penghujan menurun. Hasil panen bawang merah yang dihasilkan oleh petani sebagian besar dijual sebagai bawang merah konsumsi. Diantara hasil produksi tersebut, petani juga menyisihkan sebagian hasil panen untuk dijadikan benih pada musim tanam selanjutnya. Rata-rata petani di Kabupaten Cirebon menyisihkan 19 persen hasil panennya untuk disimpan menjadi benih, petani di Kabupaten Brebes menyisihkan 28 persen dan petani di Kabupaten Tegal menyisihkan 38 persen. Benih yang digunakan berupa umbi bawang merah yang sudah mengalami penyimpanan selama 2 bulan. Petani membutuhkan benih bawang merah rata-rata sebanyak 1,64 ton/ha. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes 2011, jumlah kebutuhan bawang merah per hektar mencapai 1,5 ton. Jumlah kebutuhan benih ini bervariasi tergantung dengan besar kecilnya umbi bawang merah yang digunakan untuk benih. Petani bawang merah di Kabupaten Brebes dan Tegal menggunakan benih seluruhnya dari varietas lokal. Petani di Kabupaten Brebes menggunakan benih lokal varietas Bima Brebes. Petani di Kabupaten Tegal menggunakan varietas Bima Brebes dan varietas Sumenep. Varietas Bima Brebes banyak digunakan petani bawang merah di dataran rendah, sedangkan varietas Sumenep banyak digunakan petani bawang merah di dataran tinggi. Petani di Kabupaten Cirebon menggunakan benih varietas lokal dan juga benih impor. Benih varietas lokal yang digunakan adalah varietas Bima Brebes dan verietas Timur. Varietas Bima Brebes relatif lebih banyak digunakan oleh petani dibandingkan varietas Timur. Sementara itu, benih impor yang digunakan petani adalah varietas Ilocost dan Super Philip. Penggunaan benih impor saat ini sudah sangat jarang dilakukan oleh petani di Kabupaten Cirebon yang menggunakan benih impor karena ketersediaan benih impor terbatas dan pemasarannya pun juga terbatas. Selain itu, petani juga lebih menyukai bawang merah lokal daripada impor karena bawang merah lokal lebih mudah dalam pemasarannya dan lebih disukai oleh masyrakat karena memiliki aroma dan rasa yang lebih baik daripada bawang merah impor. Hal tersebut senada dengan hasil penelitian Basuki 2009a yang menyebutkan bahwa dalam hal daya hasil, jumlah anakan, bentuk umbi, ukuran umbi, warna umbi, dan aroma varietas lokal Bima Brebes lebih disukai petani dibanding varietas impor. Selain itu, varietas lokal Bima Brebes lebih mudah dijual atau dipasarkan, dapat dibibitkan lagi, dan dapat ditanam pada musim kemarau maupun hujan. Sumber benih varietas lokal yang digunakan petani sebagian besar berasal dari benih yang dihasilkan petani sendiri dari penanaman sebelumnya. Ada pula beberapa petani yang membeli ke petani lain. Menurut Basuki 2010, Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 255 benih hasil produksi petani kualitasnya cukup baik yang tercermin dari daya tumbuh 99,1%, tingkat infeksi oleh penyakit tular benih 1,7%, dan persentase kemurnian varietas 99,3%. Banyaknya petani yang memproduksi sendiri benih bawang merah disebabkan oleh harga benih yang sangat mahal, pembuatan benih tidaklah sulit serta produksinya tidak berbeda jauh dari benih yang baru Darwis et al 2004. Petani menggunakan pupuk organik maupun kimia dalam budidaya bawang merah. Pupuk organik yang digunakan petani berasal dari pupuk organik pabrikan. Rata-rata penggunaan pupuk organik ini sebesar 1,3 ton/ha. Petani lebih banyak menggunakan pupuk organik pabrikan daripada pupuk kandang. Hal ini dikarenakan kemudahan dalam memperoleh pupuk organik tersebut. Pupuk organik sangat mudah diperoleh karena tersedia di kios-kios pupuk. Penggunaan pupuk kimia pada budidaya bawang merah di tiga lokasi penelitian juga cukup beragam. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes 2011 dalam budidaya bawang merah diperlukan pupuk diantaranya SP36/TSP sebanyak 300 kg/ha, KCl sebanyak 120 kg/ha, Urea sebanyak 120 kg/ha, ZA sebanyak 220 kg/ha, Kamas sebanyak 120 kg/ha, dan NPK DAP sebanyak 200 kg/ha. Hasil penelitian Tabel 4 menunjukkan petani menggunakan pupuk urea, KCl dan NPK DAP lebih dari anjuran yang disarankan. Sementara itu, petani menggunakan pupuk SP36/TSP, ZA dan Kamas masih dibawah dosis anjuran menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes 2011. Pemupukan sebagian besar dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada 10, 20, dan 30 hari setelah tanam. Obat-obatan atau pestisida yang digunakan oleh petani terdiri dari insektisida, fungisida, dan herbisida. Insektisida banyak digunakan pada musim kemarau karena pada musim ini serangan hama seperti ulat relatif lebih banyak. Penggunaan insektisida pada usahatani bawang merah masih dilakukan secara intensif di ketiga lokasi penelitian. Penyemprotan insektisida mulai dilakukan pada 10 hari setelah tanam dengan frekuensi penyemprotan dua atau tiga hari sekali. Penyemprotan akan terus dilakukan sampai bawang merah menjelang panen. Hal ini dilakukan petani untuk mencegah serangan ulat daun yang banyak menyerang tanaman bawang merah. Penggunaan insektisida yang intensif ini dipicu karena adanya resistensi pada hama ulat yang menyerang bawang merah sehingga penggunaan insektisida dilakukan secara berlebihan Moekasan dan Basuki 2007. Selain itu menurut Basuki 2009b, petani bawang merah juga memiliki keterbatasan pengetahuan dalam mengenali pestisida yang sesuai untuk pengendalian hama ulat sehingga penggunaan pestisida sangat beragam. Budidaya bawang merah masih sangat membutuhkan banyak tenaga kerja manusia dari proses pengolahan lahan sampai pemanenan. Kebutuhan tenaga kerja ini diperoleh dari tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja di luar keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga digunakan pada kegiatan pemeliharaan seperti penyemprotan, penyiangan, penyiraman, dan pemupukan. Sementara itu tenaga kerja untuk kegiatan pengolahan lahan, penanaman, dan pemanenan lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar. Kegiatan pengolahan lahan sampai siap tanam dikerjakan dengan dengan menggunakan sistem upah harian atau sistem borongan. Rata-rata kebutuhan tenaga kerja usahatani bawang merah di Brebes 390 HOK, di Cirebon 246 HOK, dan di Tegal 234 HOK. Tabel 4. Jumlah Penggunan Pupuk pada Budidaya Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal Musim Tanam Tahun 2013-2014 Sumber PKHT, 2014 Diolah Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 256 Jam kerja untuk buruh tani baik pria maupun wanita di ketiga lokasi penelitian adalah 5 jam per hari dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang. Upah tenaga kerja di Kabupaten Cirebon dan Brebes relatif sama. Upah tenaga kerja pria rata-rata Rp sedangkan untuk tenaga kerja wanita Rp Petani biasanya juga mengeluarkan biaya konsumsi untuk tenaga kerja sebesar Rp per hari. Di Kabupaten Tegal, upah tenaga kerja untuk buruh tani daerah dataran rendah berbeda dengan upah buruh tani di dataran tinggi. Upah buruh tani daerah dtaran tinggi relatif lebih murah. Upah tenaga kerja buruh tani untuk daerah dataran rendah rata-rata Rp - untuk pria dan Rp - untuk wanita. Sementara itu, upah tenaga kerja buruh tani untuk daerah dataran tinggi rata-rata Rp - untuk pria dan Rp - untuk wanita. Profitabilitas Usahatani Bawang Merah Dua komponen penting dalam menghitung profitabilitas usahatani bawang merah adalah penerimaan dan biaya usahatani bawang merah. Dalam penelitian ini, komponen biaya yang dihitung merupakan biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani biaya tunai. Biaya usahatani tersebut dikelompokkan menjadi tiga yaitu a biaya sarana produksi, b biaya tenaga kerja dan c biaya lainnya. Biaya sarana produksi terdiri dari biaya untuk pembelian benih, pupuk, dan obat-obatan. Biaya tenaga kerja merupakan jumlah upah yang dibayarkan terhadap penggunaan tenaga kerja di luar keluarga baik berupa uang tunai maupun natura. Biaya lain-lain mencakup biaya iuran irigasi, biaya bahan bakar mesin pompa, biaya sewa lahan, pajak tanah dan biaya lain yang terkait. Komponen biaya dalam usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa pengeluaran biaya usahatani bawang merah di ketiga lokasi bervariasi. Pengeluaran usahatani di Kabupaten Cirebon relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kabupaten Brebes maupun Tegal. Rata-rata biaya usahatani yang dikeluarkan sebesar Rp Sementara itu, rata-rata biaya usahatani yang dikeluarkan di Kabupaten Brebes sebesar Rp dan di Kabupaten Tegal sebesar Rp Tingginya biaya usahatani di Kabupaten Cirebon salah satunya dipengaruhi oleh tingginya harga benih bawang merah. Harga benih bawang merah di Kabupaten Cirebon relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan Kabupaten Brebes atau Tegal. Rata-rata harga benih bawang merah di Kabupaten Cirebon Rp di Kabupaten Brebes Rp dan di Kabupaten Tegal Rp Pengeluaran terbesar usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon terjadi pada musim kemarau II. Hal ini dikarenakan pengeluaran untuk tenaga kerja di luar keluarga dan biaya bahan bakar untuk pengairan pompa lebih tinggi dibandingkan musim lainnya. Sementara itu, di Kabupaten Brebes dan Tegal, pengeluaran usahatani terbesar terjadi pada musim hujan. Hal ini bisa terjadi karena di kedua lokasi tersebut pengeluaran untuk benih pada musim hujan cenderung lebih besar dibandingkan musim lainnya. Harga benih pada musim kemarau cenderung lebih mahal jika dibandingkan dengan musim lainnya. Selain itu, kebutuhan tenaga kerja luar keluarga juga meningkat terutama untuk kegiatan perawatan sehingga pengeluaran untuk tenaga kerja relatif besar. Komponen pengeluaran terbesar dalam usahatani bawang merah adalah untuk sarana produksi berkisar antara 51,19-63,80 persen. Dari komponen biaya sarana produksi ini, pembelian benih merupakan komponen pengeluaran yang paling besar. Dilihat berdasarkan pengeluaran total maka pengeluaran untuk benih berkisar antara 27,46-44,36 persen dengan rata-rata sebesar 37,80 persen. Selain biaya pembelian benih, upah tenaga kerja juga menjadi komponen pengeluaran terbesar dalam usahatani bawang merah. Pengeluaran untuk upah tenaga kerja berkisar antara 31,75-41,91 persen dengan rata-rata sebesar 35,55 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan pola yang sama dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pengeluaran terbesar pada usahatani bawang merah digunakan untuk benih dan tenaga kerja Nurasa dan Darwis 2007; Asih 2009; Mayowani dan Darwis 2010; Purmiyati 2002. Perbedaan pada struktur biaya menunjukkan adanya perbedaan dalam penggunaan sarana produksi pertanian, perbedaan harga input dan perbedaan tingkat upah antar lokasi. Faktor kondisi alam seperti intensitas serangan hama dan penyakit atau kekeringan juga berpengaruh terhadap pengeluaran usahatani. Akan tetapi pola proporsi pengeluaran pada ketiga lokasi tersebut relatif sama yaitu proporsi terbesar untuk sarana produksi, kedua untuk tenaga kerja dan ketiga biaya lainnya. Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 257 Tabel 5. Struktur Biaya Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal Musim Tanam Tahun 2013-2014 Sumber PKHT, 2014 Diolah Tabel 6. Profitabilitas Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal Musim Tanam Tahun 2013-2014 Sumber PKHT, 2014 Diolah Penerimaan usahatani bawang merah pada penelitian ini merupakan hasil kali dari jumlah bawang merah yang dijual petani dengan harga yang berlaku yang diterima petani. Bawang merah yang dihasilkan oleh petani ada beberapa yang disisihkan untuk benih. Oleh karena itu dalam penghitungan penerimaan, output bawang merah merupakan jumlah bawang merah yang dijual oleh petani. Penerimaan usahatani bawang merah terbesar ada di Kabupaten Cirebon dengan rata-rata penerimaan Rp Penerimaan usahatani tertinggi dicapai pada musim kemarau II dimana pada musim ini produksi yang dijual relatif lebih banyak dan harga jualnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan musim lainnya. Penerimaan usahatani di Kabupaten Tegal merupakan terbesar kedua dengan rata-rata penerimaan sebesar Rp Penerimaan usahatani tertinggi dicapai pada musim hujan dimana pada musim ini produksi yang dijual relatif lebih sedikit dibandingkan dengan musim lainnya namun dengan harga jual yang jauh lebih besar. Kabupaten Brebes memiliki rata-rata penerimaan yang lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Cirebon dan Tegal. Rata-rata penerimaan usahatani di Brebes sebesar Rp Rendahnya penerimaan yang diperoleh petani di Kabupaten Brebes ini dikarenakan produksi yang dijual relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan Kabupaten Cirebon maupun Tegal. Penerimaan usahatani Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 258 tertinggi dicapai pada musim kemarau I dimana pada musim ini produksi yang dijual relatif lebih banyak dibandingkan dengan musim lainnya dan harga jual juga cukup tinggi. Rata-rata keuntungan usahatani yang diperoleh petani di Kabupaten Cirebon lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Brebes dan Tegal. Rata-rata keuntungan usahatani di Kabupaten Cirebon sebesar Rp di Kabupaten Tegal Rp dan di Kabupaten Brebes Rp Perbedaan keuntungan di setiap daerah ini dikarenakan adanya variasi tingkat produktivitas, harga produk, dan biaya usahatani di masing-masing daerah. Usahatani bawang merah pada musim hujan, musim kemarau I dan musim kemarau II secara umum semuanya menguntungkan. Ketiga lokasi memiliki pola yang berbeda. Keuntungan usahatani terbesar dicapai pada musim kemarau II untuk Kabupaten Cirebon, musim kemarau I untuk Kabupaten Brebes, dan musim hujan untuk Kabupaten Tegal. Kecenderungan di beberapa daerah lainnya menunjukkan bahwa keuntungan usahatani bawang merah terbesar dicapai pada musim kemarau. Hasil penelitian Widyantara dan Yasa 2013 menunjukkan bahwa pendapatan bersih petani bawang merah di Kintamani, Bali, pada musim hujan Rp lebih kecil daripada musim kemarau Rp Akan tetapi tingkat risiko yang dihadapi petani pada musim kemarau lebih besar daripada musim hujan. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Rachman et al 2004 yaitu keuntungan usahatani bawang merah di Indramayu dan Majalengka tertinggi dicapai pada musim kemarau II karenakan rata-rata produksi dan harga bawang merah pada musim kemarau II lebih tinggi dibanding musim lainnya. Usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal secara finansial layak dan menguntungkan untuk diusahakan pada setiap musim. Nilai R/C yang diperoleh pada setiap musim menunjukkan lebih dari satu yang berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Akan tetapi nilai R/C yang diperoleh di ketiga lokasi penelitian tersebut masih mendekati satu. Hal ini mengindikasikan bahwa gejolak perubahan harga baik harga output maupun harga input akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan usahatani petani bawang merah. Petani rentan mengalami kerugian apabila terjadi lonjakan harga input atau penurunan harga output. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Petani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal masih didominasi pada retang usia produktif yaitu usia 40-59 tahun. Sebagian besar pendidikan petani adalah sekolah dasar. Pengalaman bertani bawang merah petani di Kabupaten Brebes cukup lama yaitu 11-30 tahun sedangkan petani di Kabupaten Cirebon dan Tegal berkisar antara 1-10 tahun. Penguasaan lahan untuk usahatani bawang merah masih dibawah 0,5 hektar yang terdiri dari lahan milik sendiri maupun lahan sewa. Pengeluaran usahatani di Kabupaten Cirebon relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kabupaten Brebes maupun Tegal. Rata-rata biaya usahatani yang dikeluarkan sebesar Rp Sementara itu, rata-rata biaya usahatani yang dikeluarkan di Kabupaten Brebes sebesar Rp dan di Kabupaten Tegal sebesar Rp Komponen pengeluaran terbesar dalam usahatani bawang merah adalah untuk pembelian benih dan upah tenaga kerja. Pengeluaran untuk benih berkisar antara 27,46-44,36 persen dengan rata-rata sebesar 37,80 persen. Pengeluaran untuk upah tenaga kerja berkisar antara 31,75-41,91 persen dengan rata-rata sebesar 35,55 persen. Rata-rata keuntungan usahatani di Kabupaten Cirebon sebesar Rp di Kabupaten Tegal Rp dan di Kabupaten Brebes Rp Usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal secara finansial layak dan menguntungkan untuk diusahakan pada setiap musim karena nilai R/C yang diperoleh pada setiap musim menunjukkan lebih dari satu. Saran 1. Dalam rangka peningkatan produksi maka pengembangan bawang merah diarahkan pada produksi di luar musim off season dengan cara perakitan varietas tahan musim hujan dan diseminasi varietas tahan musim hujan yang sudah ada. 2. Supaya pasokan bawang merah dalam negeri stabil maka perlu dibuat kalender tanam pada setiap daerah sentra dengan menyesuaikan agroekosistem dan musim serta saling terkoordiasi antara satu daerah dengan daerah yang lain. 3. Penting untuk dilakukan pembinaan dan pembentukan penangkar benih bersertifikat Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 259 yang lebih banyak untuk menghasilkan pasokan benih yang lebih banyak, kontinu, dan berkualitas untuk mengatasi kelangkaan ketersediaan benih dan mengatasi lonjakan harga benih pada musim-musim di luar tanam. DAFTAR PUSTAKA Asih DN. 2009. Analisis karakteristik dan tingkat pendapatan usahatani bawang merah di Sulawesi Tengah. J. Agroland 161 53-59. Asmara R dan Ardhiani R. 2010. Integrasi pasar dalam sistem pemasaran bawang merah. AGRISE 103 164-176 Basuki RS. 2009a. Analisis tingkat preferensi petani terhadap karakterisitik hasil dan kualitas bawang merah varietas lokal dan impor. J. Hort. 192237-248. _________. 2009b. Pengetahuan petani dan keefektifan penggunaan insektisida oleh petani dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah di Brebes dan Cirebon. J. Hort. 194459-474. _________. 2010. Sistem pengadaan dan distribusi benih bawang merah pada tingkat petani di Kabupaten Brebes. J. Hort. 202186-195. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan indeks harga konsumen/inflasi. Berita Resmi Statistik No 48/08/Th. XVI, 1 Agustus 2013. Jakarta ID Badan Pusat Statistik. Darwis V, Irawan B, Muslim C. 2004. Keragaan Benih Hortikultura di Tingkat Produsen dan Konsumen Studi Kasus Bawang Merah, Cabai Merah, Kubis, dan Kentang. SOCA 42 1-18 [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah. Jakarta ID Departemen Pertanian. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes. 2011. Standar Operasional Prosedur Budidaya Bawang Merah Allium ascalonicum L. Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Brebes ID Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes. [Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2015. Tabel Harga Pokok Kebutuhan Nasional. Diakses di pada hari Selasa, Tanggal 20 Januari 2015 Pukul WIB Nurasa T dan Darwis V. 2007. Analisis usahatani dan keragaan marjin pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes. Jurnal Akta Agrosia 101 40-48. Mayrowani H dan Darwis V. 2010. Perspektif pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Di dalam Suradisastra K, Simatupang P, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani; 2009 Okt 14; Bogor, Indonesia. Bogor ID PSEKP. hlm 169-186. Moekasan TK, Basuki RS. 2007. Status resistensi Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah asal Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal terhadap insektisida yang umum digunakan petani di daerah tersebut. J. Hort. 174343-354 Natawidjaja 2007. Pengembangan komoditas bernilai tinggi high value commodity untuk meningkatkan pendapatan petani. Di dalam Suradisastra K, Yusdja Y, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Mencari Alternatif Arah pengembangan Ekonomi Rakyat. 2007 Desember 04; Bogor, Indonesia. Bogor ID PSEKP. hlm 17-29. Putrasamedja S. 2010. Pengujian beberapa klon bawang merah dataran tinggi. Jurnal Pembangunan Pedesaan 102 86-92. Purba R, Astuti Y. 2013. Paket teknologi bawang merah di luar musim tanam di Pandeglang Banten. AGRITECH 152 105-113. Purba R. 2014. Produksi dan keuntungan usahatani empat varietas bawang merah di luar musim off –season di Kabupaten Serang, Banten. Agriekonomika 31 55-64 Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 260 Purmiyati S. 2002. Analisis produksi dan daya saing bawang merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah [tesis]. Bogor ID Institut Pertanian Bogor. [Pusdatin] Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2013. Outlook Bawang Merah. Jakarta ID Departemen Pertanian. Rachman HPS, Supriyati, Saptana, Rachman B. 2004. Efisiensi dan daya saing usahatani hortikultura. Di dalam Saliem HP, Basuno E, Sayaka B, Sejati WK, editor. Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Bogor, Indonesia. Bogor ID PSEKP. hlm 50-82. Sayaka B, Supriatna Y. 2010. Kemitraan pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah kasus PT Indofood Sukses Makmur. Di dalam Suradisastra K, Simatupang P, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani; 2009 Okt 14; Bogor, Indonesia. Bogor ID PSEKP. hlm 187-201. Widyantara W, Yasa NS. 2013. Iklim sangat berpengaruh terhadap risiko produksi usahatani bawang merah Allium ascalonicum L. E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata 21 32-37. Winarso B. 2003. Dinamika perkembangan harga hubungannya dengan tingkat keterpaduan antarpasar dalam menciptakan efisiensi pemasaran komoditas bawang merah. Jurnal Ilmiah Kesatuan 41 7-16. ... MIR or contribution margin ratio can be obtained from profit sharing contribution with sales revenue above variable costs Endriansyah et al., 2018. The higher the MIR value, the better the company's condition because the company's ability to cover fixed costs and earn profits will be greater Fuad et al., 2006 and Aldila et al., 2017. According to Mulyadi 1999, if the Margin of Safety MOS is linked to the Margin Income Ratio MIR, this Margin of Safety figure will be directly related to profit, so that the greater the MOS and MIR value of a business, the greater the ability to attempts to make a profit, and vice versa. ...... Based on Table 5 above, it can be explained that the margin income ratio for vanname shrimp cultivation in the Wahana Biru business group is while the average margin income ratio for group members is The higher the value of the Margin Income Ratio MIR, the better the condition of the company because the company's ability to cover fixed costs and earn profits will be greater Fuad et al., 2006 and Aldila et al., 2017. ...Adhiana AdhianaRita ArianiNovi KurniaThe fisheries sector is a sector that plays a very important role in the economy of the community in Bireuen District, Aceh Province because it has great potential for the development of fishery areas. One of the businesses that is developing in the fisheries sector is the pond business, and Bireuen Regency is one of the regions that has consistently developed pond cultivation businesses, especially vannamei shrimp. However, there is a problem in developing vanamei shrimp, namely the price of feed is relatively high compared to the selling price, therefore it is necessary to analyze the profitability of the vanamei shrimp farming business. This study aims to determine the level of profitability obtained by vannamei shrimp farming in tarpaulin ponds in Jangka District, Bireuen Regency. Test result the profitability of the vannamei shrimp business in the Term District of Bireuen Regency to farmers who use tarpaulin ponds who are members of the Wahana Biru business group is that the percentagethe profits obtained by farmers are very profitable with a profitability percentage of following the reference bank interest rate of 12%.... This improvement in living standards can be achieved by increasing farm productivity. To be able to manage their farming efficiently, it is necessary to change the behavior of farmers to be able to farm well and make farming more profitable [13]. In order to improve the standard of living and welfare of the farming community [14], creativity and changes in farmer behavior in farming management are needed to increase productivity and, in the end, will also affect the level of income. ...MarianiAgriculture is one of top best-selling non-oil-and-gas products. However, environmental-related purposes for production, based on the Regulation of Forestry Ministry of Republic of Indonesia No P50/Menhut-II/2010 for the Right to Exploit, not meet the Ecosystem Reforestation Rights. Land degradation means loss of the productive capacity of the soils that has huge risk to food insecurity, loss of ecosystem biodiversity and climate change. In Tapin, one of the most productive agriculture in South Kalimantan Province, dramatic decline in the productivity of croplands can be one of the most important contributors of climate change. The action of Land Degradation Neutrality LDN by adapting innovation has been a solution of reducing vulnerability and increase climate change resilience to combat rising demands for agriculture product and the agricultural production system. Smallholder farmers and rural community need to intensify the production of food for sustainable agriculture and food security, as mentioned in Sustainable Develompent Goals SDGs Goals 15.... On average, farmers used 1,200 kg of seed bulbs. This amount was higher compare to Sumenep District 977 kg per hectare as reported by [24][25][26], but lower than in the Brebes, Tegal, and Cirebon Districts, which was an average of tons per hectare [27]. Several factors determined the differences, namely bulb size, planting methods, and varieties. ... Atman AtmanThe increasing rate of shallot production of Central Java Province for the last ten years was lower than the national rate, indicated the need for new technology development. The study aims to determine the economic feasibility of the newly seedling planting technique in three planting distances 10 x 10 cm, 10 x 15 cm, and 15 x 15 cm. In that case, farmers use seed bulbs. The research was carried out in Padang Village, Tanggungharjo Subdistrict, Grobogan Regency, from August to October 2018. Financial analysis, consisting of BCR, MBCR, break-even point of both production and price, and competitive advantage of the techniques were analyzed. The results showed that the newly seedling technologies and planting distance were able to increase the productivity of shallots ranging from 12,685 to 21,088 kg. At the price of shallot bulbs at IDR 10,000 per kg, 10x10 cm planting distance resulted in the highest profit IDR 180,790,100/ha. It was much higher compared to the farmers' technology IDR 9,299,000/ha. Based on break-even point analysis, seedling planting technology has a tolerance limit of production and prices decreasing between to compared to existing technology Seedling planting technology has a competitive advantage with a net profit ratio of to and a minimum selling price of IDR 3,239 to IDR 3,622 to obtain the same profit as existing technology. Thus, the technology of planting shallot seedlings at a spacing of 10 x 10 cm is recommended to increase the production and profits of shallot farming.... Selanjutnya penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui permasalahan agribisnis bawang merah antara lain Aldila et al. 2015 mengungkapkan budidaya bawang merah lebih produktif dibandingkan dengan budidaya padi. Namun, karena komoditas padi merupakan simbol ketahanan pangan dan kesejahteraan bagi sebagian petani di sentra produksi bawang merah maka petani tetap akan menanam padi saat musim hujan tiba. ...Domestic shallot production generally has met domestic needs. Agricultural development aims to increase the production and income of farmers, especially in Central Sulawesi. One of the mainstay commodities that are expected to increase farmers' income is the local Palu shallot commodity. The purpose of this research is mapping the current business model of UD. Hj. Mbok Sri, analyzing the internal and external conditions of the business and formulating a design for improving its business model. The methods that used in this research are the Business Model Canvas BMC, SWOT and Blue Ocean Strategy BOS. This research was conducted by mapping the latest business models based on the 9 elements that exist in BMC, then it will be followed by a SWOT analysis on each BMC element and determining the strategy to overcome the problems that was existing at UD. Hj. Mbok Sri. Then it will be combined for improving the new business model from UD. Hj. Mbok Sri by using Blue Ocean Strategy’s perspective. The results showed that the alternative strategies that could be pursued in the development of UD. Hj. Mbok Sri can be focussed on customer segments elements, value propositions, channels, customer relationships and key partnerships, namely by optimizing the use of social networks, adding new customer segments and increasing the value proposition. These will have effects on better established customer and partnership relationships. Key activities will run smoothly and the main resources will also be more adequate, so that the flow of income will increase and the cost structure can be managed properly.... Hal ini dikarenakan aktifitas investasi berkorelasi dan interdependensi dengan ekonomi dan kemakmuran masyarakat Yudiatmaja et al., 2020. Oleh karena itu, selain pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui sertifikasi Aldila et al., 2017,pemerintah dalam semua level, terlebih dalam era otonomi daerah, memiliki peranan penting dalam menggaet lebih banyak investor, terlebih investor luar negeri. ...Mariani Mariani Dhani AkbarAdam RohwiyantoSebagai bagian dari nilai langsung pembangunan berkelanjutan, kuantitas pertanian dibutuhkan dalam jumlah besar dengan kualitas dan kontinuitas yang seragam sustainability. Tujuan penelitian ini adalah melihat dan menelaah arah pengembangan wilayah di kabupaten ini nantinya akan menjadi cikal bakal penyusunan rencana aksi kabupaten/ kota di Kalsel untuk mendukung program pembangunan pertanian berbasis korporasi petani agar dapat berjalan efektif dan efisien, terkoordinasi antar provinsi kabupaten dan kota. serasi dalam ketergantungan dan saling mempengaruhi antar daerah di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif berbentuk elaborasi dari observasi dan studi dokumentasi. Temuan penelitian ini adalah tidak terdapat kemampuan menampung areal jika disejajarkan pada situasi di mana masih terdapat disparitas. Disparitas ini perlu diminimalisir dalam strategi terarah pada pilihan lain dalam pengambilan keputusan pengembangan wilayah pertanian. Kesimpulannya, pemerintah perlu menghilangkan tumpang tindih yang tidak perlu dan perlu untuk menentukan arah pembangunan pertanian berdasar kepada organisasi kelembagaan petani... Research by [5] showed that the varieties of shallots of the hammer valley are feasible but risky. Meanwhile, the results of research conducted by [6] stated that onion farming in 3 planting seasons in three production center districts namely Cirebon, Brebes and Tegal was feasible. In the first harvest season in Trenggamus the farm was declared feasible [7]. ... Triyono Noto WiharjoHastuti SulistyaningsihShallot is a great prospect for farmers in Demak Regency. Shallot farmers in Demak Regency cultivated 2 different varieties which Bauji variety was claimed to be more profitable than the Bima variety. In addition it was known that there were differences in the treatment of the two varieties. The purpose of this study is to analyze feability and production risk of shallot farming. This research was conducted in Pasir Village and Kotakan Village, Demak Regency. Data collection was carried out by direct interview with 50 farmers by census and 50 farmer respondents randomly. To analyze, to use the formula of R / C, and coefficient of variation using the independent sample t-test method in the SPSS application. The results of the research showed that both farms were equally feasible to be cultivated, but the Bauji variety farming had a higher production risk than the bima Rosnaini DagaAbdul SamadPada penelitian ini, penulis melakukan penelitian yang bersifat kualitatif Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci Metode pengumpula data yang digunakan peneliti adalah wawancara, observasi, kepustakaan dan dokumentasi. Hasil penelitian adalah Jenis-jenis risiko yang dihadapi petani pengolah gulah aren di Desa Mengkawani, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Langkat adalah risiko produksi, risiko pembiayaan/biaya, risiko harga/pemasaran dan risiko pendapatan, Risiko produksi dapat diatasi dengan membeli nira aren atau menyewa pohon aren, mengalihkan nira menjadi minuman beralkohol atau disebut dengan tuak yang masih dapat bernilai jual, sistem budidaya tanaman aren mulai diterapkan untuk meningkatkan produksi nira aren. Manajemen risiko pendapatan diatasi melalui manajemen risiko yang bersumber dari risiko produksi, pembiayaan/biaya dan risiko harga/pemasaran itu sendiri, dampak pertumbhan ekonomi dari produksi gula aren terhadap masyarakat desa mengkawani cukup baik dan mengurangi angka kemiskinan dan mengangkat kesjahtraan masyakat. Suswadi SuswadiA PrasetyoThe consumption of organic products has become a new trend that is more environmentally friendly, healthy, and at better prices advantageous for farmers. Furthermore, organic farming reduces the greenhouse effect and global warming by absorbing carbon into the soil. This study aimed to determine the income factors of organic shallot farming and the cultivation efficiency in Boyolali Regency using the descriptive method. A simple random sampling technique was used to obtain the sample, consisting of organic shallot farmers in Cepogo District, Boyolali Regency. The R/C Ratio measured the efficiency of Shallots farming, and multiple linear regression analysis was used to determine the factors that affect farmers’ income. The results showed that the efficiency of organic shallot farming was very good, as evidenced by the R/C ratio of 2,34. Farmers produce their farm inputs to reduce production costs. Factors that affect the income of organic shallot farming include land area, seeds, organic fertilizers, pesticides, and labor. Furthermore, they need improvements on the timeliness of application and how to apply a liquid organic fertilizer to create efficiency in cultivating Suminartika Yosini DelianaHepi HapsariSri FatimahThe low competitiveness of local shallots is caused by the high cost of production, especially for the cost of seeds and labour. The high cost of production causes local selling price is higher when compared to the price of imported shallots. Increasing the competitiveness of shallots need to be done so that the local shallot are competitive in the market. The strategy to increase competitiveness can be through increasing price efficiency allocative. Actually, the efficiency of shallot farming prices in several production centres has not been efficient. Price efficiency can be achieved by minimizing costs at a certain level of output. The purpose of this study was to analyse the factors that influence the production of shallots and the level of optimal use of inputs in shallot production. The research was carried out in Majalengka sub-district, Majalengka district, West Java in October 2021. The research method used is the survey method. The data used consists of primary data and secondary data. Primary data is obtained from sample farmers, farmer samples are taken at simple random sampling. Data analysis used The production function of Cobb Douglas to analyse the factors that affect the production of shallots and the MPV equal to MC equation to determine the optimal use of inputs. The results showed The factors that significantly affect the production of shallots are land and seeds. The use of land and seeds has not been efficient because the land cultivated is relatively narrow and the use of seeds is still below the recommended dose. The optimal use of shallot seeds is 1, kg/ha. The use of fertilizers ZA, urea and pesticides should be reduced because the increasing those input factors will reduce the shallot N ManoppoSudartiAugust PolakitanNorth Sulawesi has the potential for developing shallots, but the development has not been maximized. The study aims to analyze the internal and external factors in shallot farming and formulate the strategies that can be implemented in the development. The research was conducted in Tonsewer Village, West Tompaso, Minahasa, North Sulawesi, involving 35 farmers and analyzed using SWOT. The results showed that the internal strengths were good physical condition and quality of shallots, land area, use and availability of seeds, availability of organic fertilizers, farmer’s mastery of cultivation techniques and experience. Weaknesses were shallot production still low, lack of farmer capital, availability of inorganic fertilizers, lack of labor, and not appropriate input usage. Opportunities were shallot production, shallot demands, average input prices and availability of inputs, support from Farmers' Group Association and government, selling prices and market access. Threats were the inadequate infrastructure and supporting facilities, the big traders' bargaining position, and the lack of agricultural extension ability. The strategy used was SO strategy strengths and opportunities, which is to take advantage of Farmers' Group Association support so that farmers get quality seed assistance, take advantage of government support in channeling capital, take advantage of average input prices and availability of inputs, take advantage of market NurasaDan DeriPusat PenelitianBogorMarketing institute is one of the important factor in horticulture agribusiness and one of the including the pledge commodity of is orange. This article aim to wish to know earnings of farmer and margin marketing of orange in Sub-Province of Karo . Result of analysis of farming show the existence of advantage in this commodity conducting, this matter isn't it from ratio of R/C to 2, 97. Acquirement of marketing margin between institutes of marketing in concerned tend to vary and lame. Acquirement of the marketing margin at modern market, retailer, interisland merchant, and merchant of mains market each of Rp / kg, Rp 900 / kg, Rp 350 /kg, and Rp /kg. Whereas acquirement of marketing margin at merchant of compiler of and countryside of perkoper equal to Rp 150 / kg and of Rp 125 /kg. Mount share farmer of orange to institute of marketing of modern market, retailer, merchant of mains market and interisland merchant each of 10%, 17, 14%, 24,0%, and 28,57%. While to institute of marketing of merchant of compiler of and countryside of perkoper equal to 80% and 72,73%. Economical, orange still profit. This advantage still improved potential corrected the production system of so that the productivity of can be improved. To be expected by this production process can improve quality and amount especially higher level super ordinate again so that have opportunity to access to market the broaderness, especially export. ABSTRAK Kelembagaan pemasaran adalah salah satu factor penting dalam agribisnis hortikultura dan salah satu komoditi yang menjanjikan adalah jeruk. Penelitian ini bertujuan mengetahui penerimaan petani dan marjin pemasaran jeruk di Kabupaten Karo. Hasil analisis usahatani menunjukkan adanya keuntungan dalam pengusahaan komoditi jeruk, ini didasarkan atas R/C=2,97. Kisaran Acquirement marjin pemasaran antara lembaga-lembaga pemasaran cenderung bervariasi dan timpang. Besaranya marjin pemasaran pada pasar modern, pengecer, pedagang antar pulau, dan pedagang pasar utama masing-masing Rp Rp 900/kg, Rp 350/kg, dan Rp Sedangkan besarnya marjin pemasaran pada pedagang pengumpul dan pedagang desa masing-masing sebesar Rp 150/kg dan Rp 125 /kg. Besarnya bagian petani farmer share jeruk pada lembaga pemasaran modern, pengecer, pedagang pasar utama dan pedagang antar pulau masing-masing 10%, 17,14%, 24,0%, and 28,57%. Sedangkan pada lembaga pemasaran pedagang pengumpul dan pedagang desa masing-masing sebesar 80% dan 72,73%. Secara ekonomi, jeruk masih menguntungkan. Keuntungan ini masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki sistem produksi, sehingga produktivitas dapat ditingkatkan. Diperkirakan dengan proses produksi ini dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas, terutama pada tingkat lebih tinggi lagi, sehingga memiliki peluang mengakses pasar lebih luas, khususnya pasar luar negeri ekspor. Kata Kunci Usahatani, Marjin, Pemasaran, dan indeks harga konsumen/inflasi. Berita Resmi Statistik No 48/08/Th. XVI, 1 AgustusStatistik Badan PusatBadan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan indeks harga konsumen/inflasi. Berita Resmi Statistik No 48/08/Th. XVI, 1 Agustus 2013. Jakarta ID Badan Pusat DarwisB IrawanC MuslimDarwis V, Irawan B, Muslim C. 2004. Keragaan Benih Hortikultura di Tingkat Produsen dan Konsumen Studi Kasus Bawang Merah, Cabai Merah, Kubis, dan Kentang. SOCA 42 1-18Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang MerahDepartemen PertanianDepartemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah. Jakarta ID Departemen Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan PetaniV Mayrowani H Dan DarwisMayrowani H dan Darwis V. 2010. Perspektif pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Di dalam Suradisastra K, Simatupang P, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani; 2009 Okt 14;Status resistensi Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah asal Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal terhadap insektisida yang umum digunakan petani di daerah tersebutT K MoekasanR S BasukiMoekasan TK, Basuki RS. 2007. Status resistensi Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah asal Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal terhadap insektisida yang umum digunakan petani di daerah tersebut. J. Hort. 174343-354Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Mencari Alternatif Arah pengembangan Ekonomi RakyatR S NatawidjajaNatawidjaja 2007. dalam Suradisastra K, Yusdja Y, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Mencari Alternatif Arah pengembangan Ekonomi Rakyat. 2007 Desember 04;Pengujian beberapa klon bawang merah dataran tinggiS PutrasamedjaPutrasamedja S. 2010. Pengujian beberapa klon bawang merah dataran tinggi. Jurnal Pembangunan Pedesaan 102 teknologi bawang merah di luar musim tanam di Pandeglang BantenR PurbaY AstutiPurba R, Astuti Y. 2013. Paket teknologi bawang merah di luar musim tanam di Pandeglang Banten. AGRITECH 152 dan keuntungan usahatani empat varietas bawang merah di luar musim off -season di Kabupaten SerangR PurbaPurba R. 2014. Produksi dan keuntungan usahatani empat varietas bawang merah di luar musim off -season di Kabupaten Serang, Banten. Agriekonomika 31 55-
Saat ini peluang usaha budidaya bawang merah semakin menguntungkan. Harga jual bawang merah memang cukup stabil dibandingkan harga cabai. Bawang merah menjadi jenis tanaman holtikultura dengan nilai ekonomis yang tinggi. Bawang merah hampir tak pernah dilewatkan untuk bumbu masakan. Mulai dari ibu rumah tangga, pengusaha makanan hingga pengusaha kuliner membutuhkan bawang merah. Membudidayakan bawang merah menjadi celah bisnis yang menguntungkan. Terlebih di jaman modern ini budidaya bawang merah tengah banyak mengalami kemajuan. Banyak petani yang memanfaatkan teknologi modern, sehingga hasil panen bawang merah melimpah. Memang di masa panen yang bebarengan menjadikan stok bawang merah di pasaran meningkat. Sehingga penanaman bawang merah perlu dilakukan di luas masa panen umumnya. Sehingga budidaya bawang merah akan semakin menguntungkan dengan hasil yang di dapat. Jika Anda tertarik dengan bisnis budidaya bawang merah maka bisa menyimak ulasannya di bawah ini Memulai bisnis budidaya bawang merah Bisnis pertanian memang menjadi salah satu bisnis yang tidak pernah mati. Begitupun dengan bisnis budidaya bawang merah yang menjadi salah satu bisnis yang menguntungkan. Untuk memulai bisnis budidaya bawang merah ini tidak sulit. Bisa di mulai dengan mudah dengan modal yang kecil. Anda dapat memulai bisnis budidaya bawang merah di rumah. Pelaku bisnis budidaya bawang merah Bisnis budidaya bawang merah ini bisa dan cocok dijalankan oleh semua orang. Anda yang kini bingung mencari pilihan bisnis yang tepat. Dengan kemauan dan minat yang tinggi maka bisnis budidaya bawang merah ini dapat Anda jalankan dengan mudah. Konsumen bisnis budidaya bawang merah Konsumen budidaya bawang merah memang tidaklah sulit, konsumen budidaya bawang merah cukup besar mulai dari konsumsi rumah tangga hingga berbagai usaha kuliner. Peralatan bisnis budidaya bawang merah Dalam bisnis budidaya bawang merah membutuhkan beberapa peralatan penting diantaranya sewa lahan, pompa air, golok, cangkul, wadah, gerobak dorong, sabit, timba. Dengan adanya peralatan tersebut maka bisnis budidaya bawang merah makin maksimal. Juga butuh bibit bawang merah, pestisida, pupuk, dan karung. Lokasi strategis dalam berjualan budidaya bawang merah Dalam berjualan budidaya bawang merah, Anda bisa memasarkannya dengan cara menjualnya ke pasar, rumah makan, restoran atau hotel. Juga dapat memasarkannya ke swalayan atau supermarket. Karyawan bisnis budidaya bawang merah Karyawan dalam menjalankan bisnis budidaya bawang merah bisa menggunakan satu orang dahulu dalam permulaan. Harga jual budidaya bawang merah Patokan harga untuk budidaya bawang merah dapat Anda buat dalam hitungan per kg dimana harga mulai Rp hingga Rp Ini tergantung dari harga bawang merah yang ada di pasaran. Keuntungan dalam menjalankan bisnis budidaya bawang merah Keuntungan bila Anda memilih terjun dalam peluang bisnis budidaya bawang merah ini yakni merupakan bisnis pertanian yang paling banyak dicari orang karena bawang merah banyak dibutuhkan. Kekurangan bisnis budidaya bawang merah Segi kekurangan bisnis budidaya bawang merah ialah budidaya bawang merah memiliki tingkat persaingan yang tinggi dan ketat. Analisa bisnis budidaya bawang merah Investasi Peralatan Harga sewa lahan Rp. pompa air Rp. bibit bawang merah Rp. golok Rp. cangkul Rp. wadah Rp. gerobak dorong Rp. sabit Rp. timba Rp. Peralatan tambahan yang lainnya Rp. Jumlah Investasi Rp. Biaya Operasional per Bulan Biaya Tetap Nilai Penyusutan sewa lahan 1/12 x Rp. Rp. Penyusutan pompa air 1/62 x Rp Rp. Penyusutan bibit bawang merah 1/44 x Rp Rp. Penyusutan golok 1/62 x Rp. Rp. Penyusutan cangkul 1/44 x Rp. Rp. Penyusutan wadah 1/44 x Rp. Rp. Penyusutan gerobak dorong 1/62 x Rp Rp. Penyusutan sabit 1/62 x Rp Rp. Penyusutan timba 1/44 x Rp. Rp. Penyusutan peralatan tambahan 1/44 x Rp. Rp. upah pekerja Rp. Total Biaya Tetap Rp. Biaya Variabel pestisida Rp. x 30 = Rp. pupuk Rp. x 30 = Rp. karung Rp. x 30 = Rp. bahan lainnya Rp. x 30 = Rp. Biaya transportasi Rp. x 30 = Rp. pengemas Rp. x 30 = Rp. BBM Rp. x 30 = Rp. Total Biaya Variabel Rp. Total Biaya Operasional Biaya tetap + biaya variabel = Rp. Pendapatan per Bulan 21 kg x Rp. = Rp. Rp. x 30 hr = Rp. Keuntungan per Bulan Laba = Total Pendapatan – Total Biaya Operasional Rp. – = Rp. Lama Balik Modal Total Investasi / Keuntungan = Rp. = 3 bln Dari analisa di atas dapat disimpulkan apabila bisnis budidaya bawang merah sangat menguntungkan dimana modal Rp dengan kentungan per bulan Rp dan balik modal dalam 2 bulan. Bisnis budidaya bawang merah ini tidak dapat berjalan maksimal jika tidak menggunakan mesin pengolah pupuk kompos dalam pengolahannya. Pemakaian dari mesin pengolah pupuk kompos dibutuhkan agar proses pemupukan dalam budidaya bawang merah berjalan lancar dan efektif. Kinerja mesin pengolah pupuk kompos yakni merajang bahan pupuk kompos yang alami dengan langkah mudah. Tampilan mesin pengolah pupuk kompos sangat modern dimana kinerjanya sangat handal dan berjalan begitu cepat. Membuat pupuk untuk budidaya bawang merah semakin mudah dan praktis dengan hadirnya mesin pengolah pupuk kompos. Dibandingkan cara pembuatan pupuk secara manual memang menggunakan mesin pengolah pupuk kompos tampil unggul juga sangat efektif. Mesin untuk membuat pupuk dalam budidaya bawang merah dengan hasil yang memuaskan dapat Anda miliki langsung lewat Toko Mesin Maksindo. Mesin pengolah pupuk kompos dari maksindo tersedia dari kapasitas kecil hingga besar. Demikian tadi ulasan peluang usaha budidaya bawang merah dan analisa bisnisnya yang bisa dijadikan referensi memulai bisnis budidaya bawang merah tersebut. Tertarik mencoba bisnis budidaya bawang merah ? Bisnis budidaya bawang merah menjadi pilihan bisnis sangat menjanjikan. Dalam menjalankan bisnis budidaya bawang merah jangan lupa untuk menggunakan mesin pengolah pupuk kompos agar bisnis berjalan lancar juga maksimal. Semoga informasi mengenai peluang dari bisnis budidaya bawang merah tersebut dapat bermanfaat
analisa usaha bawang merah hidroponik